Tari Berpasangan
- Tari Banjar Bagandut
Jenis tari
tradisional berpasangan yang di masa lampau merupakan tari yang menonjolkan
erotisme penarinya mirip dengan tari tayub di Jawa dan ronggeng di Sumatera.
Gandut artinya tledek (Jawa).
Tari Gandut ini pada mulanya hanya dimainkan di lingkungan
istana kerajaan, baru pada kurang lebih tahun 1860-an tari ini berkembang ke
pelosok kerajaan dan menjadi jenis kesenian yang disukai oleh golongan rakyat
biasa. Tari ini dimainkan setiap ada keramaian, misalnya acara malam
perkawinan, hajad, pengumpulan dana kampung dan sebagainya.
Gandut merupakan profesi yang unik dalam masyarakat dan
tidak sembarangan wanita mampu menjadi Gandut. Selain syarat harus cantik dan
pandai menari, seorang Gandut juga wajib menguasai seni bela diri dan
mantera-mantera tertentu. Ilmu tambahan ini sangat penting untuk melindungi
dirinya sendiri dari tangan-tangan usil penonton yang tidak sedikit ingin
memikatnya memakai ilmu hitam. Dahulu banyak Gandut yang diperistri oleh para
bangsawan dan pejabat pemerintahan, disamping paras cantik mereka juga diyakini
memiliki ilmu pemikat hati penonton yang dikehendakinya. Nyai Ratu Komalasari,
permaisuri Sultan Adam adalah bekas seorang penari Gandut yang terkenal.
Pada masa kejayaannya, arena tari Gandut sering pula menjadi
arena persaingan adu gengsi para lelaki yang ikut menari. Persaingan ini bisa
dilihat melalui cara para lelaki tersebut mempertontonkan keahlian menari dan
besarnya jumlah uang yang diserahkan kepada para Gandut.
Tari Gandut sebagai hiburan terus berkembang di wilayah
pertanian di seluruh Kerajaan Banjar, dengan pusatnya di daerah Pandahan,
Kecamatan Tapin Tengah, Kabupaten Tapin.
Tari Gandut sejak tahun 1960-an sudah tidak berkembang lagi.
Faktor agama Islam merupakan penyebab utama hilangnya jenis kesenian ini
ditambah lagi dengan gempuran jenis kesenian modern lainnya. Sekarang Gandut
masih bisa dimainkan tetapi tidak lagi sebagai tarian aslinya hanya sebagai
pengingat dalam pelestarian kesenian tradisional Banjar
- Tari Jaipong
Karya Jaipongan pertama
yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser
Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari
putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa
nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali,
dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi
perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun
dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat,
apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun
pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi
pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang
diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian
rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan
oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari
Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu
undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk
oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar
Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang
dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis,
humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu
tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola
(Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula
tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan
Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di
daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut:
1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing
Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang
sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5)
Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor)
sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai
pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun
1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka,
Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan,
dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari
Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming
Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa
Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu
identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara
penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat,
maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi
kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari
Jaipongan banyak memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa
Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi
jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern
yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.
- Tari Cokek
Tari Cokek merupakan
tarian yang berasal dari budaya Betawi tempo dulu. Dewasa ini orkes gambang
kromong biasa digunakan untuk mengiringi tari pertunjukan kreasi baru,
pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan sebagainya,
disamping sebagai pengiring tari pergaulan yang disebut tari cokek. Tari cokek
ditarikan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Tarian khas Tangerang ini
diwarnai budaya etnik China. Penarinya mengenakan kebaya yang disebut cokek.
Tarian cokek mirip sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah.
Tarian ini kerap identik dengan keerotisan penarinya, yang dianggap tabu oleh
sebagian masyarakat.
Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari
cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang
kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki.
Setelah itu mereka mengajak tamu untuk menari bersama,dengan
mengalungkan selendang. pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling
terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah
mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak
yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan
itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan
memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri
atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan
sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi
hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat
pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih
licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya
tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang.
Karakter : Lincah
Bentuk sajian : Tari berpasangan
Kelompok tari : Tari rakyat
Busana :
Wanita
Kebaya warna cerah
Kain batik/sinjang
Selendang panjang disampirkan di bahu
Rambut di-cepol di atas dengan aksesori bunga
Laki-laki
Baju kutung (tak berlengan warna cerah, dipakai di dalam)
Rompi tangan panjang warna senada/kontras, dipakai di luar
tanpa kancing.
Sarung yang dipakai sebatas lutut
Iket dari kain segitiga motif batik
Ikat pinggang/beubeur
Dengan riasan kumis dan godeg (jambang)
Tari Ketuk Tilu diiringi tiga buah waditra (alat
musik),yaitu kendang, gong, dan tiga buah ketuk, bisa dipadukan dengan lagu
“Kangsreng”.
Kaitan dari Tari Ketuk Tilu yang dilakukan penari, ronggeng
atau doger adalah gerakannya yang erotis, yakni gerakan berupa goyang pinggul,
geol dan giteknya yang merangsang. Sekelumit erotisme, enjoyment serta
partisipasi Tari Ketuk Tilu memiliki latar belakang sebuah budaya untuk upacara
sakral.
Pada mulanya Tari Ketuk Tilu adalah tari bagi upacara penghargaan kepada dewi
yang dianggap melindungi tanaman padi, yakni Dewi Sri. Tari ini dilakukan oleh
dua jenis penari yang terdiri dari wanita dan pria secara berpasangan yang
mengandung arti kesuburan. Nama Ketuk Tilu itu diambil dari waditra
pengiringnya (alat musik) yang terdiri dari alat musik yang disebut ketuk
berupa gendang kecil.
Pada setiap pertunjukkan ketuk tilu juga selalu ada ronggeng, yakni primadona
yang biasanya menari dan menyanyi. Ronggeng inilah yang selalu mengekspolitasi
gerak tubuh yang erotis.
2.Tari Jepen
Tari Jepen adalah
kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam.
Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai
Mahakam maupun di daerah pantai.
Tarian pergaulan ini biasanya ditarikan berpasang-pasangan,
tetapi dapat pula ditarikan secara tunggal. Tari Jepen ini diiringi oleh sebuah
nyanyian dan irama musik khas Kutai yang disebut dengan Tingkilan. Alat musiknya
terdiri dari gambus (sejenis gitar berdawai 6) dan ketipung (semacam kendang
kecil).
Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan
terdapat grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki
gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya
kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen
29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
3.Tari Kanjar
Tari Kanjar di Kalimantan Timur
Tari Kanjar di
Kalimantan Selatan
Tari Serampang Duabelas
Tari Serampang
Duabelas berkisah tentang cinta suci dua anak manusia yang muncul sejak
pandangan pertama dan diakhiri dengan pernikahan yang direstui oleh kedua orang
tua sang dara danteruna. Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati
tersebut, maka tarian ini biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan
perempuan. Serampang Duabelas tidak hanya berkembang dan dikenal oleh
masyarakat di wilayah Kesultanan Serdang, tetapi juga menyebar ke berbagai
daerah di Indonesia, seperti Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai
ke Maluku. Bahkan, tarian ini sering dipentaskan di manca negara, seperti
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Hongkong
Peralatan
Untuk menarikan Tari Serampang Duabelas, sedikitnya ada
tigal hal yang harus dipersiapkan, yaitu:
Musik pendukung. Pada awal perkembangannya, musik pendukung
tarian ini menggunakan peralatan musik tradisional. Namun seiring perkembangan
zaman, peralatan musik yang digunakan semakin beragam.
Pakaian penari. Biasanya, pakaian yang digunakan untuk
menari Tari Serampang Duabelas adalah pakaian adat Melayu di pesisir pantai
timur Pulau Sumatra. Walaupun bukan menjadi peralatan utama, keberadaan pakaian
ini sangat penting. Sedikitnya ada dua alasan mengapa faktor pakaian menjadi
penting, yaitu: pertama, warna-warni pakaian adat yang digunakan akan
menjadikan ragam Tari Serampang Duabelas yang dimainkan semakin indah dan
menarik; kedua, penggunaan pakaian adat menjadi penanda daerah asal Tari
Serampang Duabelas.
Sapu tangan. Sapu tangan dalam Tari Serampang Duabelas
mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai kombinasi pakaian adat, dan sebagai media
tari pada gerakan penutup tarian.
Penari
Tari Serampang Duabelas dimainkan secara berpasangan oleh
laki-laki dan perempun. Namun, pada awal perkembangannya, tarian ini dimainkan
secara berpasangan oleh laki-laki.
4.TARI PIRING
Tari Piring merupakan
tarian yang berasal dari daerah Minangkabau, Sumatra Barat. Tari Piring melambangkan
rasa gembira dan syukur para petani atas hasil tanaman mereka. Pada zaman
dahulu, tari Piring dibawakan pada saat panen. Namun saat ini, tari Piring
biasanya dibawakan pada saat peristiwa-peristiwa penting, seperti acara
pernikahan. Penari tari Piring adalah putra dan putri.Tari Piring dibawakan
dalam bentuk tari berpasangan putra dan putri yang terdapat dalam sebuah
kelompok.
Tari Piring menggambarkan pergaulan muda-mudi yang
bercengkrama sambil bekerja di sawah. Mereka mengolah dan mempersiapkan lahan
sawah, menyiangi tanaman, serta memanen. Kemudian dilanjutkan dengan memisahkan
padi dari batangnya, membersihkan padi, dan menyimpan padi di lumbung (rangkiang).
Para penari bergerak sambil membawa piring di tapak tangan.
Kadangkala, piring dilontarkan ke udara ataupun dihempas ke tanah dan dipijak
oleh para penari. Tari Piring merupakan tarian gerak cepat. Nuansa yang
ditampilkan dalam tari Piring adalah suasana gembira. Tari Piring menggunakan
lagu-lagu yang diiringi musik talempong dan saluang. Tari Piring sering
ditampilkan dengan berbagai variasi, baik variasi gerakan,jumlah penari, dan
busana.
TARI KELOMPOK
Tari Cakalele
Cakalele adalah
tarian perang tradisional
Maluku yang digunakan untuk menyambut tamu ataupun
dalam perayaan adat.Biasanya, Tarian ini dibawakan oleh 30 pria dan wanita.
Tarian ini dilakukan secara berpasangan dengan iringan musik drum, flute, bia
(sejenis musik tiup).
Para penari pria biasanya mengenakan
parang dan
salawaku (perisai) sedangkan penari wanita menggunakan lenso (sapu
tangan).
Penari pria mengenakan kostum yang didominasi warna merah
dan kuning, serta memakai penutuk kepala
aluminum yang
disisipi dengan bulu putih.Kostum celana merah pada penari pria melambangkan
kepahlawanan, keberanian, dan
patriotisme rakyat Maluku.
Pedang atau
parang pada tangan kanan penari melambangkan martabat penduduk Maluku yang
harus dijaga sampai mati, sedangkan
perisai dan
teriakan keras para penari melambangkan gerakan protes melawan
sistem pemerintahan yang dianggap
tidak memihak pada rakyat. Sumber lain menyatakan bahwa tarian ini merupakan
penghormatan atas nenek moyang bangsa Maluku yang merupakan
pelaut .
Sebelum mengarungi lautan untuk
membajak
pesawat , nenek moyang mereka mengadakan pesta dengan makan, minum,
dan berdansa. Saat tari Cakalele ditampilkan, terkadang
arwah nenek
moyang dapat memasuki penari dan kehadiran arwah tersebut dapat
dirasakan oleh penduduk asli.
Tari Pendet
Tari Pendet pada awalnya
merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat
Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya
dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman
Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap
mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari
ini adalah I Wayan Rindi.
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam
bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang
memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang,
pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan
jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para
wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan
contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis
daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan.
Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap
ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing
penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
Tari Saman
Tari Saman adalah
salah satu tarian daerah Aceh yang paling terkenal saat ini. Tarian ini berasal
dari dataran tinggi Gayo. Syair saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa
Aceh. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa
- peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian
ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Pada kenyataannya
nama “Saman” diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.
Tari Saman biasanya ditampilkan menggunakan iringan alat
musik, berupa gendang dan menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan
mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka
sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini
dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman
formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian
ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan
latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini dilakukan
secara berkelompok, sambil bernyanyi dengan posisi duduk berlutut dan
berbanjar/bersaf tanpa menggunakan alat musik pengiring.
Karena kedinamisan geraknya, tarian ini banyak
dibawak/ditarikan oleh kaum pria, tetapi perkembangan sekarang tarian ini sudah
banyak ditarikan oleh penari wanita maupun campuran antara penari pria dan
penari wanita. Tarian ini ditarikan kurang lebih 10 orang, dengan rincian 8
penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
Tari Rejang
Tari Rejang adalah
sebuah tarian kesenian rakyat/suku
Bali yang
ditampilkan secara khusus oleh
perempuan dan
untuk
perempuan.
Gerak-gerik tari ini sangat sederhana namun progresif dan lincah. Biasanya
pagelaran tari Rejang diselenggarakan di
pura pada waktu
berlangsungnya suatu upacara adat atau upacara keagamaan Hindu Dharma.
Tarian ini dilakukan/ditarikan oleh penari-penari perempuan
Bali dengan penuh rasa hidmat, penuh rasa pengabdian kepada
Dewa-Dewi
Hindu dan penuh penjiwaan. Para penarinya mengenakan pakaian upacara
yang meriah dengan banyak dekorasi-dekorasi, menari dengan berbaris melingkari
halaman pura atau pelinggih yang kadang kala dilakukan dengan
berpegang-pegangan tangan.
Tari Rejang di beberapa tempat juga disebut dengan ngeremas, Simi atau sutri.
Tari Rejang adalah sebuah tarian putri yang dilakukan
secara masal, gerak-gerik tarinya sangat sederhana (polos) yang biasanya
ditarikan di Pura Pura pada waktu berlangsungnya suatu upacara. Tarian ini
dilakukan dengan penuh rasa hidrat, penuh rasa pengabdian kepada Bhatara
Bhatari. Para penarinya mengenakan pakaian upacara, menari dengan berbaris
melingkari halaman Pura atau Pelinggih yang kadang kala dilakukan dengan
berpegangan tangan. Tari Rejang di beberapa tempat juga disebut dengan Ngeremas
atau Sutri.
Jenis-jenis
tari Rejang antara lain : Rejang Renteng, Rejang Bengkel, Rejang Ayodpadi,
Rejang Galuh, Rejang Dewa dan lain-lainnya. Di desa Tenganan terdapat tari-tari
Rejang Palak, Rejang Membingin yang kemudian dilanjutkan dengan Rejang Makitut
dan Rejang Dewa. Tari Rejang di Tenganan diiringi dengan gambelan Selonding
yang biasanya dilakukan dalam suatu upacara yang disebut Aci Kasa.
Tari Angguk
Tarian
Angguk merupakan satu dari sekian banyak jenis kesenian rakyat yang ada di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian angguk berbentuk tarian disertai
dengan pantun-pantun rakyat yang berisi pelbagai aspek kehidupan manusia,
seperti: pergaulan dalam hidup bermasyarakat, budi pekerti, nasihat-nasihat dan
pendidikan. Dalam kesenian ini juga dibacakan atau dinyanyikan kalimat-kalimat
yang ada dalam kitab Tlodo, yang walaupun bertuliskan huruf Arab, namun
dilagukan dengan cengkok tembang Jawa. Nyanyian tersebut dinyanyikan secara
bergantian antara penari dan pengiring tetabuhan. Selain itu, terdapat satu hal
yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu adanya pemain yang “ndadi” atau
mengalami trance pada saat puncak pementasannya. Sebagian masyarakat Yogyakarta
percaya bahwa penari angguk yang dapat “ndadi” ini memiliki “jimat” yang
diperoleh dari juru-kunci pesarean Begelen, Purworejo.
Tarian angguk diperkirakan muncul sejak zaman Belanda1,
sebagai ungkapan rasa syukur kapada Tuhan setelah panen padi. Untuk
merayakannya, para muda-mudi bersukaria dengan bernyanyi, menari sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Dari sinilah kemudian melahirkan satu kesenian
yang disebut sebagai “angguk”. Tari angguk biasa digelar di pendopo atau di
halaman rumah pada malam hari. Para penontonnya tidak dipungut biaya karena
pertunjukan kesenian angguk umumnya dibiayai oleh orang yang sedang mempunyai
hajat (perkawinan, perayaan 17 Agustus-an dan lain-lain).
Jenis-jenis Angguk dan Pemain
Tarian yang disajikan dalam kesenian angguk terdiri dari dua
jenis, yaitu: (1) tari ambyakan, adalah tari angguk yang dimainkan oleh banyak
penari. Tarian ambyakan terdiri dari tiga macam yaitu: tari bakti, tari srokal
dan tari penutup; dan (2) tari pasangan, adalah tari angguk yang dimainkan
secara berpasangan. Tari pasangan ini terdiri dari delapan macam, yaitu: tari
mandaroka, tari kamudaan, tari cikalo ado, tari layung-layung, tari
intik-intik, tari saya-cari, tari jalan-jalan, dan tari robisari.
Pada mulanya angguk hanya dimainkan oleh kaum laki-laki
saja. Namun, dalam perkembangan selanjutnya tarian ini juga dimainkan oleh kaum
perempuan. Para pemain angguk ini mengenakan busana yang terdiri dari dua
macam, yaitu busana yang dikenakan oleh kelompok penari dan busana yang
dikenakan oleh kelompok pengiring. Busana yang dikenakan oleh kelompok penari
mirip dengan busana prajurit Kompeni Belanda, yaitu: (1) baju berwarna hitam
berlengan panjang yang dibagian dada dan punggunya diberi hiasan
lipatan-lipatan kain kecil yang memanjang serta berkelok-kelok; (2) celana
sepanjang lutut yang dihiasi pelet vertikal berwarna merah-putih di sisi
luarnya; (3) topi berwarna hitam dengan pinggir topi diberi kain berwarna
merah-putih dan kuning emas. Bagian depan topi ini memakai “jambul” yang
terbuat dari rambut ekor kuda atau bulu-bulu; (3) selendang yang digunakan
sebagai penyekat antara baju dan celana; (4) kacamata hitam; (5) kaos kaki
selutut berwarna merah atau kuning; dan (6) rompi berwarna-warni. Sedangkan
busana yang dikenakan oleh kelompok pengiring adalah: (1) baju biasa; (2) jas;
(3) sarung; dan (4) kopiah.
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Angguk
diantaranya adalah: (1) kendang; (2) bedug; (3) tambur; (4) kencreng; (5)
rebana 2 buah; (6) terbang besar dan (6) jedor.
Nilai Budaya
Seni apa pun pada dasarnya mengandung nilai estetika,
termasuk seni tari angguk.yang ada di kalangan masyarakat Yogyakarta. Namun
demikian, jika dicermati secara seksama kesenian ini hanya bernilai estetis dan
berfungsi sebagai hiburan semata. Akan tetapi, justuru yang menjadi rohnya
adalah nilai kesyukuran. Dalam konteks ini adalah bersyukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa karena kemurahannya (memberi hasil panen yang melimpah).
Tari Serimpi
Serimpi sama artinya dengan bilangan empat. Kata Srimpi menurut
bahasa jawa artinya "impi atau mimpi". Tarian Serimpi merupakan
tarian yang berasal dari Yogyakarta. Tarian ini ditarikan oleh 4 orang putri
yang diiringi oleh musik gamelan Jawa. Gerakan tangan dari sang penari yang
lambat dan gemulai adalah ciri khas dari tarian Serimpi Yogyakarta. Dari
ke 4 putri tersebut, masing-masing melambangkan unsur dunia, yaitu : grama
(api), angin (udara), toya (air), dan bumi (tanah). Hal dimaksud melambangkan
asal usul terjadinya manusia dan juga melambangkan 4 penjuru mata angin. Pada
dasarnya tari Serimpi ini mengambarkan sifat baik dan sifat buruk. Manusia
diajarkan untuk selalu berbuat baik sebagai bekal menghadap Sang Pencipta. Dari
ke 4 putri tersebut masing-masing mempunyai nama yaitu : Batak, Gulu, Dhada dan
Buncit.
Legenda Tari Serimpi muncul pertama kali di masa
kejayaan Kerajaan Mataram yang diperintah oleh Sultan Agung (1613-1646). Tarian
ini hanya dipentaskan dalam lingkungan kraton sebagai acara ritual kenegaraan
sampai peringatan naik takhta sultan. Kerajaan Mataram terpecah menjadi
Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta pada tahun 1775.
Di Kesultanan Yogyakarta, tarian Serimpi digolongkan
menjadi 3 yaitu Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, Serimpi Genjung. Di
Kesultanan Surakarta, tarian Serimpi digolongkan menjadi 2 yaitu Serimpi Anglir
Mendung dan Serimpi Bondan.
Macam-macam Tari Serimpi :
1. Tari Serimpi Cina
Salah satu jenis tari putri klasik di Istana Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada kekhususan pada tari Serimpi cina, yaitu busana
para penari menyesuaikan dengan pakaian cina.
2. Tari Serimpi Padhelori
Diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VI dan VII. Properti
yang digunakan dalam tarian ini berupa pistol dan cundrik. Membawakan cerita
petikan dari Menak, ialah perang tanding Dewi Sirtu Pelaeli dan dewi
Sudarawerti. Tari Serimpi Padhelori mempergunakan lagu pengiring utama Gending
Pandhelori.
3. Tari Serimpi Pistol
Salah satu jenis tari putri klasik gaya Yogyakarta, yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VII. Kekhususan tarian ini terletak pada
properti yang digunakan yaitu pistol.
4. Tari Serimpi Merak Kasimpir
Salah satu jenis tari putri klasik gaya Yogyakarta, yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana VII. Properti yang digunakan dalam
tarian ini berupa pistol dan jemparing. Gending yang dipergunakan untuk
mengiringi tari Serimpi Merak Kasimpir adalah Gending Merak Kasimpir.
5. Tari Serimpi Renggawati
Salah satu jenis tari putri klasik gaya Yogyakarta, yang
diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana V. Penari Serimpi Renggawati berjumlah 5
orang. Membawakan cerita petikan dari Angling Darmo yang magis, dengan
menggunakan tambahan properti sebatang pohon dan seekor burung mliwis putih.
6. Tari Serimpi Pramugari
Salah satu jenis tari putri klasik gaya Yogyakarta,
merupakan hasil ciptakan Sultan Hamengku Buwana VII. Tarian ini menggunakan
properti pistol. Gending yang dipergunakan untuk mengiringi tari Serimpi
Pramugrari adalah Gending Pramugrari.
7. Tari Serimpi Sangopati
Tarian ini dimainkan oleh dua orang penari wanita. Tarian
srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan tarian karya
Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1788-1820
dengan nama Srimpi Sangopati kata sangapati itu sendiri berasal dari kata sang
apati, sebuah sebutan bagi calon pengganti raja. Tarian ini melambangkan bekal
untuk kematian (dari arti Sangopati) diperuntukan kepada Belanda.
8. Tari Serimpi Anglirmendhung
Menurut R.T. Warsadiningrat, Anglirmedhung ini digubah oleh
K.G.P.A.A.Mangkunagara I. Semula terdiri atas tujuh penari, yang kemudian
dipersembahkan kepada Sinuhun Paku Buwana. Tetapi atas kehendak Sinuhun Paku
Buwana IV tarian ini dirubah sedikit, menjadi Srimpi yang hanya terdiri atas
empat penari saja.
9. Tari Serimpi Ludira Madu
Tari Srimpi Ludira Madu ini diciptakan oleh Paku Buwono V
ketika masih menjadi putra mahkota Keraton Surakarta dengan gelar sebutan
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.Tarian ini diciptakan untuk mengenang
ibunda tercinta yang masih keturunan Madura, yaitu putri Adipati Cakraningrat
dari Pamekasan. Ketika sang ibu meninggal dunia, Pakubuwono V masih berusia 1 ½
tahun , dan masih bernama Gusti Raden Mas Sugandi. Jumlah penari dalam tarian
ini adalah 4 orang putri. Dalam tarian ini digambarkan sosok seorang ibu yang
bijaksana dan cantik seperti jelas dituliskan pada syair lagu Srimpi Ludira
Madu. Nama Ludira Madu diambil dari makna Ludira Madura yang berarti
"Darah/ keturunan Madura"
Tari Remo
Tari Remo berasal dari
surabaya, Jawa
Timur.Tarian ini pada awalnya merupakan tarian yang digunakan sebagai pengantar
pertunjukan
ludruk.
Namun, pada perkembangannya tarian ini sering ditarikan secara terpisah sebagai
sambutan atas tamu kenegaraan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan,
maupun dalam festival kesenian daerah. Tarian ini sebenarnya menceritakan
tentang perjuangan seorang pangeran dalam medan laga. Akan tetapi dalam
perkembangannya tarian ini menjadi lebih sering ditarikan oleh perempuan,
sehingga memunculkan gaya tarian yang lain: Remo Putri atau Tari Remo gaya
perempuan.
Menurut sejarahnya, tari remo merupakan tari yang khusus
dibawakan oleh penari laki – laki. Ini berkaitan dengan lakon yang dibawakan
dalam tarian ini. Pertunjukan tari remo umumnya menampilkan kisah pangeran yang
berjuang dalam sebuah medan pertempuran. Sehingga sisi kemaskulinan penari
sangat dibutuhkan dalam menampilkan tarian ini.
Berdasarkan perkembangan sejarah tari remo, dulunya tari
remo merupakan seni tari yang digunakan sebagai pembuka dalam pertunjukan
ludruk. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi dari tari remo pun mulai
beralih dari pembuka pertunjukan ludruk, menjadi tarian penyambutan tamu,
khususnya tamu – tamu kenegaraan. Selain itu tari remo juga sering ditampilkan
dalam festival kesenian daerah sebagai upaya untuk melestarikan budaya Jawa
Timur. Oleh karena itulah kini tari remo tidak hanya dibawakan oleh penari
pria, namun juga oleh penari wanita. Sehingga kini muncul jenis tari remo
putri. Dalam pertunjukan tari remo putri, umumnya para penari akan memakai
kostum tari yang berbeda dengan kostum tari remo asli yang dibawakan oleh
penari pria.
Tata Gerak
Karakteristika yang paling utama dari Tari Remo adalah
gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Gerakan ini didukung dengan adanya lonceng-lonceng
yang dipasang di pergelangan kaki. Lonceng ini berbunyi saat penari melangkah
atau menghentak di panggung. Selain itu, karakteristika yang lain yakni gerakan
selendang atau sampur, gerakan anggukan dan gelengan kepala, ekspresi wajah,
dan kuda-kuda penari membuat tarian ini semakin atraktif.
Tata Busana
Busana dari penari Remo ada berbagai macam gaya, di
antaranya: Gaya Sawunggaling, Surabayan, Malangan, dan Jombangan. Selain itu
terdapat pula busana yang khas dipakai bagi Tari Remo gaya perempuan.
Busana gaya Surabayan
Terdiri atas ikat kepala merah, baju tanpa kancing yang
berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke-18, celana sebatas pertengahan
betis yang dikait dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran yang menjuntai
hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris menyelip di
belakang. Penari memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan
yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang
masing-masing ujung selendang. Selain itu, terdapat pula gelang kaki berupa
kumpulan lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki.
Busana Gaya Sawunggaling
Pada dasarnya busana yang dipakai sama dengan gaya
Surabayan, namun yang membedakan yakni penggunaan kaus putih berlengan panjang
sebagai ganti dari baju hitam kerajaan.
Busana Gaya Malangan
Busana gaya Malangan pada dasarnya juga sama dengan busana
gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni pada celananya yang panjang hingga
menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan jarum.
Busana Gaya Jombangan
Busana gaya Jombangan pada dasarnya sama dengan gaya
Sawunggaling, namun perbedaannya adalah penari tidak menggunakan kaus tetapi
menggunakan rompi.
Busana Remo Putri
Remo Putri mempunyai busana yang berbeda dengan gaya remo
yang asli. Penari memakai sanggul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian
dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai ke lutut, serta hanya
menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu bahu.
Pengiring
Musik yang mengiringi Tari Remo ini adalah
gamelan, yang
biasanya terdiri atas bonang barung/babok, bonang penerus, saron, gambang,
gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Adapun jenis
irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah
Jula-Juli dan Tropongan, namun dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok
Rancak, Krucilan atau gending-gending kreasi baru. Dalam pertunjukan
ludruk, penari
biasanya menyelakan sebuah lagu di tengah-tengah tariannya.